Pelayan Publik Vs Mafia Administrasi


Secara teori, sebuah negara dibentuk oleh masyarakat di suatu wilayah tidak lain bertujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama setiap anggotanya dalam koridor kebersamaan. Dalam angan setiap anggota masyarakat, negara yang dibentuk oleh mereka ini akan melaksanakan fungsinya menyediakan kebutuhan hidup anggota yang berkaitan dengan konstelasi hidup berdampingan dengan orang lain di sekelilingnya. Di kehidupan sehari-hari, kebutuhan bersama itu sering kita artikan sebagai “kebutuhan publik”. Contoh sederhana, Kartu Tanda Penduduk (KTP) adalah kebutuhan publik bagi setiap orang yang sudah memenuhi persyaratan tertentu. Tanpa KTP, seseorang akan mengalami kesulitan dalam berurusan dengan orang lain atau sebuah institusi. KTP perlu dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang yang dibentuk dan ditunjuk oleh negara, seperti kelurahan atau desa. Proses menerbitkan sebuah KTP bagi seorang anggota masyarakat kita sebut sebagai Pelayanan Publik, yang dapat diterjemahkan sebagai segala aktivitas yang dilakukan oleh petugas berwenang dalam melayani pemenuhan kebutuhan publik anggota masyarakatnya. Dalam konteks negara, pemenuhan kebutuhan publik tersebut diartikan sebagai pemenuhan hak-hak sipil seorang warga negara. Pelayanan publik umumnya tidak berbentuk barang melainkan layanan jasa, termasuk jasa administrasi. Hasil yang diperoleh dari adanya pelayanan publik oleh penyedia jasa layanan dapat berbentuk barang maupun bentuk jasa-jasa. Pelayanan publik biasanya dilakukan oleh pemerintah, namun dapat juga oleh pihak swasta.

Untuk semua pelayanan yang bersifat mutlak, negara dan aparaturnya berkewajiban untuk menyediakan layanan yang bermutu dan mudah didapatkan setiap saat. Pada kehidupan bernegara di abad modern ini, komitmen suatu negara untuk memberikan pelayanan publik yang memadai terhadap kebutuhan publik merupakan implementasi dari pemenuhan hak-hak azasi manusia dari warga negaranya. Oleh karena itu, ketika suatu instansi pemerintah memberikan layanan publik yang buruk, hal tersebut dianggap melanggar konvensi internasional tentang hak azasi manusia. Sebagai contoh, disaat warga negara kesulitan mendapatkan layanan pendidikan yang baik, bermutu, dan mudah diakses, maka sesungguhnya pemerintah telah berlaku lalai, melanggar hak azasi warga negaranya. Hal ini juga berlaku di setiap lembaga penyedia layanan publik, seperti di kelurahan, desa, puskesmas, rumah sakit, dan sebagainya.

Di sektor swasta, setiap lembaga swasta yang menyediakan pelayanan publik sudah semestinya mengadopsi pola pelayanan publik yang mencerminkan penghormatan kepada hak-hak warga negara untuk mendapatkan layanan yang sebaik-baiknya. Saat ini, dibandingkan dengan pihak pemerintah, sistim pelayanan publik pihak swasta umumnya tergolong lebih baik. Hal ini terutama disebabkan oleh tingginya persaingan antar pemberi layanan publik, seperti terlihat pada perusahaan-perusahaan penyedia jasa transportasi yang saling berlomba memberikan layanan terbaik bagi masyarakat. Walaupun demikian, pemantauan dan evaluasi dari masyarakat dan pemerintah tetap dibutuhkan agar kualitas pelayanan publik tetap terjaga bahkan dapat ditingkatkan.
Sebaliknya, yang sering terjadi di lapangan, justru lembaga-lembaga pemerintah selalu kedodoran dalam menyediakan pelayanan publik. Pengurusan KTP, Surat Izin Mengemudi (SIM), Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sulitnya memperoleh layanan pendidikan yang mudah dan bermutu, layanan kesehatan yang tidak terjangkau oleh sebagian besar masyarakat, dan sebagainya, merupakan sebagian kecil dari contoh kesemrawutan pelayanan publik oleh pemerintah. Hal tersebut tentunya bertentangan dengan semangat reformasi yang sudah berjalan selama satu dekade ini. Hal tersebut bisa disebabkan dari dua sisi; birokrasi dan standar pelayanan publik. Banyaknya mafia administrasi merupakan bagian dari bobroknya birokrasi. Dan lemahnya undang-undang pelayanan publik penyebab lemahnya standar pelayanan publik.

Tulisan ini akan mengupas tentang pelayanan publik. Meliputi bagaimana problematika pelayanan publik selama ini yang terkait dengan adanya mafia administrasi di lingkungan birokrasi, mengapa, serta bagaimana solusi terbaiknya, dan bagaimana Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik yang baru disahkan dapat diimplementasikan secara maksimal, agar pelayanan publik bisa meningkat menjadi lebih baik, berkualitas, akuntabel, dan menjadi idaman masyarakat pemakai jasa. Dan UU tersebut benar-benar dijadikan dasar hukum dan landasan berpijak masyarakat atau penyelenggara pelayanan publik dalam melakukan legal action.

Pelayanan publik sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik diartikan sebagai kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Pelayanan publik yang merupakan bentuk pelayanan terhadap warga Negara menuntut instansi penyedia pelayanan lebih bertanggung jawab terhadap pelanggannya. Pelayanan publik dilakukan birokrasi bukan hanya melayani pelanggan (costomer) tetapi melayani warganegara.
Pelayanan publik menurut Sinambela (2005:5) adalah;
Kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap sejumlah manusia yang memiliki setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk secara fisik.

Kurniawan (2005:6) mengatakan bahwa; “pelayanan publik adalah pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang lain atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan”.
Konsep pelayanan publik yang diperkenalkan oleh Osborne dan Greber dalam bukunya “Reiventing Government” intinya adalah pentingnya peningkatan pelayanan publik oleh birokrasi pemerintah dengan cara member wewenang kepada pihak swasta lebih banyak berpartisipasi sebagai pengelola pelayanan publik.
Dengan demikian pengertian dari manajemen pelayanan publik (publik service management) adalah keseluruhan kegiatan pengelolaan ppelayanan oleh instansi-instansi pemerintah atau badan hokum lain milik pemerintah kepada masyarakat sesuai dengan kewenangannya, baik pelayanan yang diberikan secara langsung maupun tidak langsung melalui penyusunan kebijakan tertentu.

Dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dirumuskan bahwa standar pelayanan publik sekurang-kurangnya meliputi 10 komponen yaitu: dasar hukum; persyaratan; sistem, mekanisme, dan prosedur; jangka waktu penyelesaian; biaya/tarif; produk pelayanan; sarana, prasarana, dan/atau fasilitas; kompetensi Pelaksana; pengawasan internal; penanganan pengaduan, saran, dan masukan; jumlah Pelaksana; jaminan pelayanan yang memberikan kepastian pelayanan dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan; jaminan keamanan dan keselamatan pelayanan dalam bentuk komitmen untuk memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, dan risiko keragu-raguan; dan evaluasi kinerja Pelaksana.
10 komponen tersebut sejatinya merupakan ketetapan dan kepastian yang menyangkut kualitas dan kuantitas pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah sebagai indikator kesejahteraan rakyat.

Leave a comment