Dari Transisi ke Involusi Demokrasi


Teuku Kemal Fasya – Opini
MEMASUKI lima tahun masa perdamaian Aceh, peta demokrasi mulai terungkit masalah. Hal ini berpuncak karena ketidakmampuan pemerintah Aceh menerjemahkan kekuatan anggaran menjadi potensi kesejahteraan masyarakat. Menjelang tiga tahun pemerintahan Irwandi Jusuf terus digoyang demonstrasi yang menuntutnya turun dari kekuasaan. Dalih stagnasi pembangunan dan politik primordialisme yang kental dilakukan menyebabkan masyarakat mulai memberikan nilai merah atas gubernur dari jalur independen ini. Delapan Februari tahun ini genap tiga tahun Irwandi-Nazar menjabat.

Buah MoU Helsinki
Seperti diketahui, sebagian besar pemimpin daerah Aceh yang memenangi Pilkada 11 Desember 2006 berasal dari calon independen (eks GAM dan SIRA). Kelompok non-birokrasi ini mampu masuk dan merebut “panggung resmi politik” tidak lain karena kesepakatan damai Helsinki, 15 Agustus 2005. Di dalam MoU Helsinki, salah satunya diatur poin partisipasi politik. Inilah yang kemudian menjadi dasar penyelenggaraan demokrasi berbasis lokal di Indonesia, setelah sempat muncul di era Orde Lama.

Namun tahun ketiga pemerintahan, para calon gubernur dan bupati yang berasal dari calon independen gagal memenuhi harapan perubahan, baik untuk rekonstruksi ekonomi, politik, dan hukum. Hal ini menimbulkan kekhawatiran, akankah produk perdamaian MoU Helsinki berakhir sebagai krisis demokrasi, permanensi transisi konflik, atau malah regresi sosial-ekonomi?

Sebenarnya kesalahan terletak pada harapan yang terlalu tinggi pada pemerintahan baru ini. Sebagai hasil dari Pilkada pertama pasca-konflik, bangunan demokrasi tidak mungkin tegak dengan penuh kedewasaan, rasional, dan deliberatif. Masa transisi biasanya dipenuhi mitos-mitos konflik dibandingkan politik yang berwawasan. Akhirnya masyarakat cenderung memilih pemimpin yang dianggap mampu mempertahankan perdamaian (perspektif keamanan) dibandingkan seorang fasilitator pembagunan atau manajer yang telaten.

Di satu sisi, kehadiran pemimpin dari calon independen ini tidak berasal dari representasi mayoritas dan lengkap. Pasangan Irwandi-Nazar hanya meraih 38,2 persen dari delapan kontestan lainnya. Ini menunjukkan para pemilih belum jauh-jauh dari aliansi ethnos (primordial) dan bukan demos yang sangat plural. Basis konstituen sebagian besar dari kalangan pedesaan yang miskin atau bekas daerah konflik.

Di sisi lain, adanya indikator asimetris dan realitas politik di Aceh. Prestasi pemerintahan yang tidak baik pun tidak mengurangi citra mereka sebagai pemimpin demokratis. Buktinya pemilu April 2009, Partai Aceh (PA), partai transformasi GAM berhasil menjadi pemenang. PA menguasai lebih 50 persen suara dengan perolehan 33 dari 69 kursi di parlemen Aceh.

Namun, indikator asimetris ini memiliki rasionalitas juga. Pertama, hadirnya partai-partai politik lokal di Aceh tidak mengindikasikan adanya sentimen yang pro-separatisme. Partai lokal menjadi jaringan politik alternatif, ketika partai nasional tidak membuka ruang partisipasi dan kontrol publik yang lebih baik. Kedua, tokoh-tokoh dari partai nasional tidak cukup memiliki integritas dan kredibilitas di mata publik. Ketiga, ada prinsip bahwa ketidakberhasilan eksekutif tidak selalu berarti ketidakberhasilan legislatif meski berasal dari institusi dan ideologi yang sama.

Masyarakat masih memberi kesempatan dan kepercayaan pada GAM sekali lagi. Persoalan yang muncul adalah ketika para demokrat baru Aceh ini tidak mampu meng-install demokrasi ke dalam format pragmatis bagi rakyat. Di Aceh demokrasi masih menjadi arena kontestasi wacana, bersifat elitis, dan hanya berpengaruh di tingkat pelakunya saja, tidak turun menjadi gerakan kultural yang luas.

Kampanye pemerintahan Irwandi pada isu Aceh green tidak mengurangi praktik illegal logging, diseminasi wacana demokrasi tidak mampu meredam kebijakan Syariat Islam keras, reformasi birokrasi tidak mengarah pada perampingan struktur malah penggemukan (51 orang tim asistensi) dan politik akomodasi, dan sebagainya.

Belum sejahtra
Meskipun proyek rekonstruksi, pembangunan, dan perdamaian Aceh telah menghabiskan tak kurang Rp 120 triliun selama lima tahun terakhir, efek kesejahteraan tidak semakin nyata. Kemiskinan, pengangguran, dan tuna pendidikan masih menjadi fenomena umum. Sebagian besar anggaran dikonsumsi dengan logika neo-liberalisme oleh lembaga donor dan BRR di masa lalu telah meninggalkan luka lingkungan dan sosial.

Masalah makin berat karena ketidaksempurnaan pekerjaan era rekonstruksi menjadi limbah pembangunan. Delusi masyarakat atas situasi ini hanya mengarah pada pemerintah daerah (yang kebetulan berasal dari “kelompok pejuang kemerdekaan”) sebagai pemikul semua beban. Dalam keadaan miskin, terpuruk, dan tuna informasi, masyarakat korban tentu tak memiliki ruang untuk merasionalisasi situasi, sehingga menimbulkan kesimpulan demokrasi Aceh gagal dan demokrasi lokal menjadi biang kerok atas fenomena kemiskinan dan kebodohan.

Begitupun, sikap terbaik adalah tak perlu menyalahkan proses demokrasi, karena tanpa demokrasi, Aceh masih meringkuk dalam kesesakan konflik. Adapun ketidakberhasilan “kelompok demokrat baru” bisa diobati dengan memperdalam proses demokrasi (deepening democracy) melalui institusi-institusi pendukung program kesejahteraan dan menyumbat institusi demagogi yang mengancam demokrasi substansial tumbuh subur. Karena kegagalan demokrasi transisional bisa lebih seram: munculnya kembang api konflik baru dan bergentayangan praktik korupsi yang lebih parah dan massif, seperti terlihat di Sri Langka dan Kenya.

* Penulis adalah Ketua Komunitas Peradaban Aceh.

2 thoughts on “Dari Transisi ke Involusi Demokrasi

  1. demokrasi menyajikan pilihan yang kadang pelik
    selintas pandangan menghasilkan suara dukungan
    di sini kemampuan dan kepiawaian yang jadi pondasi utama mencapai kemakmuran bersama justru terabaikan
    pada dasarnya waktu yang akan menguji dari setiap pilihan

Leave a reply to winant Cancel reply