Imajinasi Bernegara di Aceh (Irwandi Yusuf Versus Andi Sirajuddin)


Otto Syamsuddin Ishak

INSTRUKSI Gubernur Aceh Nomor 004/45196, adalah sebuah contoh yang berhikmah tentang bagaimana sebuah niat politik Irwandi yang baik, namun menuai akibat berantai yang buruk dalam konteks kehidupan bernegara, khususnya dalam konteks Aceh yang sedang membangun kondisi damai yang kondusif untuk berproses menuju sejahtera dan berkeadilan.

Akibat berantai itu dimulai dari tindakan Dandim 0105 Aceh Barat dalam merespon tindakan birokrat yang mematuhi instruksi penguasa politiknya. Sebagian kaum birokrat yang menyaksikan perlakuan Andi Sirajuddin terhadap 2 birokrat senior di Meulaboh memantik rasa iba. Ini berkaitan dengan harga diri kaum birokrat.

Irwandi sendiri tentu tidak cukup hanya berapologi bahwa yang dikibarkan adalah bendera merah putih juga. Sebab, kalaulah bendera lain yang vis a vis dengan bendera kebangsaan, tentunya sudah termasuk ke dalam katagori subversif. Dan, hal ini tidak cukup tepat untuk memanipulasi hal ini sebagai tindakan yang tidak menghormati almarhum Hasan Tiro, yang justru destruktif terhadap dinamika politik di Aceh.

Akibat berantai lainnya, di satu pihak muncul penilaian yang negatif terhadap TNI, karena dianggap tidak berkaitan dengan kewenangan yang diamanahkan oleh undang-undang. Di lain pihak, ada permakluman terhadap kekeliruan tindakan politik Irwandi sebagai gubernur. Selanjutnya, Irwandi juga memberikan penafsiran atas sikap Pangdam Iskandar Muda bahwa bendera kebangsaan tidak boleh dikibarkan setengah tiang pada instansi militer, tetapi dibolehkan di instansi pemerintahan.

Kesemua itu merupakan teater politik bernegara yang dibangun di Aceh hingga saat ini. Kita menemukan 2 hal, yakni basis legal tindakan dan wujud perilaku alam menegakkan hal yang legalistik.

Kaidah Bernegara
Namun, hal pertama yang sebaiknya dipertimbangkan adalah basis legal yang dipakai dalam mengeluarkan instruksi Nomor 004/45196 berkenaan dengan penaikan bendera merah putih setengah tiang pada seluruh bupati/walikota se-Aceh dari tanggal 3 hingga 6 Juni 2010 untuk memberikan penghormatan pada almarhum Hasan Tiro. Sejauh ini Irwandi hanya menganalogikan posisi gubernur dengan posisi presiden yang memiliki kewenangan dalam menetapkan hari berkabung nasional dalam wujud pengibaran bendera nasional setengah tiang.

Dalam hal ini, Kepala Penerangan Kodam Iskandar Muda, Yuli Marjoko mengacu pada UU 24/2009, khususnya Pasal 12 hal pengaturan bagaimana penggunaan bendera nasional sebagai tanda berkabung. Landasan legal kedua, adalah PP 62/1990 yang mengatur tata teknis perwujudan dalam kondisi berkabung tersebut.

Dalam hal ini tidak tertera penggunaan bendera negara dalam kaitannya dengan situasi berkabung untuk para tokoh kharismatis sebagaimana yang menjadi alasan bagi Irwandi dalam mengeluarkan instruksi. Dalam lain kata, penaikan bendera negara selama 3 hari (dan sebagai penutup peti jenazah) bagi tokoh karismatis tidak diatur oleh undang-undang. Jadi instruksi penaikan bendera negara untuk menunjukkan situasi berkabung oleh Irwandi tidak memiliki basis legal. Dan, Irwandi telah menyalahtafsirkan sikap politik Panglima Kodam Iskandar Muda.

Sehubungan dengan tindakan Dandim Andi justru memiliki basis legalnya. Namun, persoalan yang sekait dengan Andi adalah kesantunan politik dalam menegakkan aturan kehidupan bernegara.

Kaidah Berperilaku
Irwandi mempertanyakan: “Apa pasal Dandim Aceh Barat marah-marah.” Dan, Andi pun menjawab: “Saya pikir yang meninggal Bupati Aceh Barat, karena saya lihat benderanya kok dikibarkan setengah tiang. Makanya saya langsung datang dan masuk ke kantor tersebut guna menanyakan hal itu.”

Namun, inilah sebuah akibat berantai dari instruksi penguasa yang tidak mengacu pada tata aturan dalam bernegara, yang bukan saja mendorong tindakan birokrat pelaksana yang ilegal, dan sebalik, mendapat reaksi yang melampaui kesantunan dalam bernegara oleh penguasa lainnya. Hal ini juga bisa merefleksikan bahwa perspektif berpikir di masa konflik berada dalam posisi latent. Suatu peristiwa politik yang penting, perspektif itu dengan segera terangkat ke permukaan (menjadi manifest) kembali.

Di pihak Irwandi, penghormatan terhadap Hasan Tiro masih belum memadai dengan mewujudkannya secara kultural keacehan (pemakaman yang layak dan ritual mendoakan yang massal); namun juga harus diberikan penghormatan secara politik kenegaraan. Akibat perspektif masa lalunya terpicu, maka Irwandi mengabaikan tata aturan kehidupan bernegara. Lalu, ia melakukan rasionalisasi dengan membuat analogi antara kewenangan presiden dan gubernur, dengan tanpa mempertimbangkan posisi politik formal Hasan Tiro dalam konteks politik pasca MoU Helsinki.

Dalam konteks konflik Aceh dahulu, memang terbentuk dikotomi yang tegas antara golongan nasionalis dan separatis. Namun, dalam konteks pasca MoU Helsinki, maka dikotomi itu menjadi sirna. Nampaknya, perspektif masa lalu Andi segera terpicu manakala melihat penaikan bendera negara tersebut.

Akibatnya, Andi melakukan tindakan-dengan spirit nasionalisme di era konflik-terhadap fenomena yang ada. Komitmen bahwa negara ini menjunjung tinggi hukum terabaikan. Hal yang menonjol justru memberikan hukuman disipliner pada kedua birokrat -yang sedang menjalankan perintah atasannya. Sebenarnya, tanpa diragukan bahwa Andi memiliki akses yang cukup untuk menyelesaikan persoalan itu secara hukum.

Begitulah, sebuah niat baik (Irwandi maupun Andi), bila tanpa pertimbangan etika bernegara yang sehat, bisa menciptakan situasi yang destruktif. Pertama, nampaknya UUPA harus disadari sebagai undang-undang pokok yang mengatur kehidupan bernegara di Aceh, dan bilamana tidak diatur di dalamnya, masih harus merujuk pada sumber lain, utamanya konstitusi. Bilamana imajinasi bernegaranya sempit, maka akan dangan mudah terjerumus ke dalam tindakan yang mengabaikan aturan bernegara selain UUPA.

Kedua, dalam era desentralisasi, khususnya Aceh damai, ada gejala muncul dan menguatnya identitas daerah di seluruh nusantara. Dalam hal ini, persoalannya menjadi bagaimana caranya kita menata sehingga tidak ada perbenturan antara nasionalisme dan identitas daerah, menghindari monopoli pendefinisian dan pemutlakan tafsir nasionalisme, bahkan antar varian nasionalisme yang muncul di dalam nasionalisme yang lebih besar.

* Penulis adalah peneliti senior Imparsial.

Leave a comment